Ayo baca artikel, opini, humor, tutorial, kisah inspiratif, anda bebas baca sepuasnya, nya, nya...!!!

Opini Media: Guru Umar Bakri Jangan Lagi Dikebiri

Dua pekan lalu, seorang guru honorer di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kecamatan Medan Tembung, mengadu ke DPRD Medan. Mengadu karena merasa diperlakukan tidak adil.

Semangat untuk memperingati hari guru setiap tanggal 25 November, ternyata tidak berarti apapun untuk mengubah nasibnya. Bahkan, setelah dua tahun mengabdi sebagai guru tanpa gaji, ale-ale dimasukkan dalam data base calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Pemerintah Kota (Pemko) Medan, malah diberhentikan dari sekolah. Padahal, ada beberapa nama yang sama sekali tidak pernah mengajar, masuk dan tercatat di data base guru honor, yang katanya menunggu giliran diangkat menjadi CPNS. Seperti yang dijanjikan dalam Surat Edaran Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honor yang bekerja di instansi pemerintah.

Seorang guru tenaga honorer di Kecamatan Medan Helvetia, juga pernah mengeluhkan, tentang kecilnya gaji yang diterima, yakni hanya Rp 300.000 per bulan. Sangat jauh dari kebutuhan hidup layak (KHL) Rp 1.218.090 per bulan ataupun Upah Minimum Kota (UMK) Medan Rp 1.020.000 per bulan. Itupun pembayarannya setahun sekali. Sungguh tidak manusiawi.

Meski terkadang tidak percaya, namun begitulah gambaran kondisi guru di Kota Medan dan mungkin di seluruh Indonesia. Menurut catatan Forum Komunitas Tenaga Honor Negeri (FKTHN) Sumut di daerah ini terdapat sedikitnya 8.000 guru tenaga honorer yang menerima gaji dibawah UMK dan UMP, yakni berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 300.000 perbulan.

Dan banyak lagi kisah menyedihkan tentang guru honor. Mulai dari intimidasi dari kepala sekolah, jam mengajar yang tidak sesuai dengan gaji yang diterima, hingga perlakuan tidak adil dari kepala sekolah dan pejabat terkait. Padahal dalam Undang-Undang Sisdiknas semua guru baik PNS maupun swasta menjadi ujung tombak pendidikan

Saya jadi teringat pada lirik lagu ‘Guru Umar Bakri’ karya Iwan Fals, yang populer di era tahun 1980-an. "… Umar Bakri Umar Bakri, Pegawai negeri…Empat puluh tahun mengabdi. Jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Umar Bakri Banyak ciptakan menteri…Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri Seperti dikebiri…"

Lagu tersebut sebenarnya merupakan potret buram guru di masa itu, namun sayangnya masih berlangsung hingga saat ini. Tidak hanya ‘Umar Bakri’ yang pegawai negeri, tetapi juga ‘Umar Bakri’ yang honorer. Nasibnya masih memprihatinkan.

Kesejahteraan

Fakta membuktikan bahwa 70 % kemajuan negara di dunia sangat ditentukan oleh Sumber Daya Manusianya dan 30 % lagi ditentukan oleh Sumber Daya Alamnya. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dibentuk melalui pendidikan yang baik. Dan pendidikan yang baik hanya dapat diwujudkan oleh guru yang sejahtera dan profesional.

Karena itu, jika pemerintah serius ingin membangun dan memajukan negeri ini, yang utama harus diperhatikan adalah kesejahteraan guru. Saat ini, memang sudah ada upaya pemerintah untuk hal itu, meski belum tampak maksimal.

Setidaknya ada beberapa program yang dilaksanakan pemerintah dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan status dan kesejahteraan. Pendekatan status diberlakukan kepada guru honorer yang memenuhi persyaratan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan pendekatan kesejahteraan diberlakukan bagi yang tidak memenuhi syarat, seperti karena usia sudah melebihi batas.

Sejak tahun 2005, dilakukan pengangkatan guru honor yang dinyatakan memenuhi syarat sesuai PP 48/2005 juncto PP 43/2007, menjadi PNS tanpa tes. Syaratnya, guru honorer tersebut harus sudah memiliki masa kerja satu tahun pada 31 Desember 2005, dibuktikan dengan surat keputusan (SK) pengangkatan oleh instansi pemerintah (kepala sekolah negeri dan/atau kepala dinas pendidikan), baik yang honorariumnya dibiayai oleh APBD maupun APBN. Dan usia maksimal 48 tahun.

Sayangnya, program ini tidak berjalan mulus. Banyak oknum pejabat di berbagai level, terutama di pemerintah kota (Pemko) atau pemerintah kabupaten (Pemkab) yang tergoda untuk memanipulasi data, demi kepentingan pribadi, kelompok dan keluarganya.

Ironisnya, manipulasi data juga secara sadar dilakukan oleh oknum para pendidik, yang tidak jujur. Akibat itu pula, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Medan terpaksa membatalkan pemberian insentif terhadap 2.000 guru di daerah ini yang dianggap memanipulasi data.

Wajar saja, jika data awal seluruh tenaga honorer yang hanya 800 ribuan orang, membengkak menjadi 920 ribuan orang, dan telah disertai dengan SK pengangkatan yang diberlakukan surut. Akibatnya, program yang ditargetkan rampung tahun 2010, belum tuntas hingga kini.

Bahkan, saat ini diperkirakan jumlah guru honorer tersebut mencapai 105 ribu orang. Baik yang sudah masuk dalam data based maupun yang masih tercecer atau belum terakomodir. Karena pada saat terjadi pembengkakan data guru hononer, pemerintah memutuskan untuk menutup laporan data based dari daerah. Akibatnya, ada guru honorer yang tidak terdata, padahal ia sudah memenuhi syarat.

Selain mengangkat guru honor menjadi PNS secara bertahap, pemerintah juga memberikan insentif dan tunjangan kepada guru, baik guru PNS, guru honor dan guru swasta. Seperti tunjangan fungsional (TUFU), bantuan kesejahteraan guru (BKG), instentif pengembangan sistem penghargaan dan perlindungan terhadap profesi pendidik (PSP-4).

Bahkan pemerintah, melalui Menteri Keuangan yang ketika itu masih dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati, mengklaim, bahwa tahun 2010 gaji para pendidik, termasuk guru, akan mengalami kenaikan hingga 50 persen. Pemerintah melalui APBN juga membayar tunjangan profesi kepada pendidik, guru, dan dosen swasta, asalkan bersertifikat.

Profesionalisme

Tidak hanya menuntut kesejahteraan dari pemerintah, para guru juga hendaknya berupaya meningkatkan kualitas dan profesionalismenya sebagai pendidik. Karena, Profesionalisme guru sangat mempengaruhi mutu pendidikan. Dan pembenahan profesionalisme dengan sendirinya merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan.

Apalagi, di kalangan masyarakat profesional, guru belum begitu diakui seperti profesi lainnya, semisal dokter atau pengacara. Ini terjadi akibat tidak adanya konsep dan arah yang jelas serta berkesinambungan mengenai profesi guru. Seseorang yang tidak belajar ilmu pendidikan (pedagogi), asalkan mau mengajar, dapat saja menjadi guru.

Juga tidak sedikit guru yang tidak mencintai profesinya secara total dan tulus, karena pada umumnya mereka memilih profesi guru sebagai pilihan kedua, atau keterpaksaan di tengah sulitnya mencari pekerjaan.

Meskipun secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 adalah pekerjaan profesional, yakni pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Untuk itu para guru hendaknya juga bisa dan mau menambah ilmu melalui berbagai cara. Antara lain melalui internet, baca buku, majalah dan rajin keperpustakaan. Sehingga profesionalisme benar-benar mewujud dalam pendidikan di negeri ini. Dengan jaminan kesejahteraan dari pemerintah dan kerja profesional dari guru, saya yakin pendidikan di negeri ini mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, yang mampu menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Syaratnya, guru Umar Bakri jangan lagi dikebiri.***

by Iwan Guntara
Penulis adalah wartawan yang tinggal di Kota Medan.
source: www.analisadaily.com

Opini Media: Guru Umar Bakri Jangan Lagi Dikebiri Rating: 4.5 Diposkan Oleh: gusti

0 comments:

Post a Comment