Ayo baca artikel, opini, humor, tutorial, kisah inspiratif, anda bebas baca sepuasnya, nya, nya...!!!

Punya Mata Tapi Tak Melihat, Punya Hati Tapi Tak Merasa

Punya hati tapi tak merasa
Oleh : Akmal Sjafril
assalaamu’alaikum wr. wb.

Punya mata tapi tak dipakai untuk melihat. Punya telinga tapi tak mau mendengar. Punya lidah tapi tak berani bicara. Mata, telinga, lidah, dan semua organ tubuh kita memang penting, tapi tak sepenting ‘segumpal daging’ yang jika ia baik, maka semuanya baik, dan jika ia buruk, maka semuanya pun jadi buruk. Itulah hati.

Mata yang baik dipadu dengan hati yang buruk bisa menjadi mangsa pornografi. Telinga yang sehat dengan hati yang jahat adalah modal awal bagi tukang gosip. Lidah yang lancar berbicara namun hatinya keji, waduh entah kerusakan macam apa yang bisa ditimbulkannya!

Hati adalah penentu kualitas diri kita. Orang yang tekun mempelajari agama Islam tak mungkin tidak menyadari pentingnya hati. Begitu seriusnya para ulama mempelajari hati, sehingga muncul istilah ‘menjaga hati’, bahkan ‘penyakit-penyakit hati’ pun dirinci secara mendalam.

Sungguh mengherankan jika kini ada yang bicara tentang dakwah tapi mengabaikan hati. Tidak jauh dari ingatan bagaimana Aa Gym mengingatkan semua orang bahwa manusia takkan bisa menyentuh hati kalau bukan dengan hati juga. Namun Aa Gym yang selalu menggunakan kelembutan hatinya pun ditinggalkan oleh banyak orang hanya karena fitnah. Maka dakwah serapuh apakah yang hendak diciptakan oleh orang-orang yang mengabaikan hati?

Bukanlah sebuah cerita fiksi jika dikatakan bahwa seseorang yang menganggap dirinya sebagai da’i pernah bertutur tentang objek dakwahnya: “Kalau mereka tidak suka ya terserah! Tugas kita kan hanya menyampaikan. Memangnya kita ini penghibur?” Bukan pula sebuah dongeng jika ada seorang ‘ustadzah’ di sebuah milis yang mengatakan “Saya ya begini ini! Mereka mau bilang apa, terserah. Saya memang orangnya nggak sensitif, atau mungkin merekalah yang terlalu sensitif. Saya kan tidak bisa mengatur apa yang orang pikirkan tentang saya!”

Orang yang tak peduli memang biasanya takkan dipedulikan. Ironi terbesar dalam dakwah adalah ketika dakwah itu sendiri dicincang-cincang dan direduksi hingga makna yang tersisa darinya hanyalah “menyampaikan”. Asal sudah menyampaikan, tunailah kewajiban!

Memang ada momen-momen dalam Sirah Nabawiyah di mana Rasulullah saw. dan para sahabatnya berdakwah dengan terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, namun hal ini tak pernah jadi kebiasaan. ‘Deklarasi keislaman’ ‘Umar ibn al-Khattab ra. yang ditandai dengan aksi saling bertukar bogem dengan kaum musyrik di Mekkah adalah momen penting yang meningkatkan semangat dan keberanian umat Muslim, tapi tak perlu sering-sering diulang, karena pendekatan yang radikal semacam itu membutuhkan timing yang luar biasa tepat. Salah langkah sedikit, mungkin karena terlalu bersemangat, tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun seluruh gerakan dakwah. Kalau tidak punya kharisma seorang ‘Umar ra., terlalu gegabah rasanya untuk bersikap seperti dirinya.

Perjalanan dakwah Islam dari masa ke masa haruslah diwarnai dengan interaksi antara hati manusia yang satu dengan yang lainnya. Kalau bukan karena hati, tak mungkin penjara dipanggil dengan sebutan yang mesra seperti ‘madrasah’. Kalau bukan karena hati yang terlanjur jatuh cinta, tak mungkin para pejuang Palestina yang tiap hari disiksa di penjara-penjara kaum Zionis itu bisa membentuk halaqah-halaqah untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Masuk penjara sebagai pejuang, keluar penjara sebagai pejuang, ulama, dan hafizh Qur’an. Ust. Insan L. Mokoginta, yang dikenal luas sebagai kristolog, juga mengalami hal yang sama. Karena ceramahnya dianggap memprovokasi rakyat, beliau divonis hukuman penjara selama 6 bulan. Karena memang dasarnya seorang da’i, maka dalam tempo singkat saja sudah 8 orang penghuni penjara itu yang masuk Islam. Begitu dekat hatinya dengan jamaahnya di penjara, beliau sampai merasa berat meninggalkan penjara, kalau bukan karena kewajibannya terhadap keluarga.

Tidaklah mungkin menyeru hati tanpa menggunakan hati. Tidak logis berdakwah tanpa mengindahkan perasaan orang lain. Alih-alih membantu orang mendapatkan hidayah, yang sering terjadi justru menimbulkan fitnah terhadap dakwah. Punya hati tapi tak merasa. Inikah dakwah?

Agar Hati tak Berkarat

Senjata yang jarang digunakan akan lebih mudah berkarat. Analogi ‘senjata’ sangat tepat digunakan untuk hati, karena ‘segumpal daging’ inilah yang menentukan baik-buruknya segala amunisi persenjataan yang kita miliki. Semakin tak pernah digunakan, semakin berkarat hati manusia.

Kalau sedang menganalisa situasi sosial, kita dapat dengan mudah sampai pada kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang sama, namun jalan hidupnya berbeda-beda. Keluarganya beda, lingkungannya beda, sekolahnya beda, teman-teman sepergaulannya beda, dan seterusnya, hingga terbentuklah karakter yang berbeda-beda pula.

Seorang pecandu narkoba, misalnya, tidak menjadi pecandu sejak lahir. Ada hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya, yang akumulasinya menyebabkan ia terjerumus menjadi pengguna barang haram itu. Tidak ada yang tiba-tiba. Segalanya terbangun sedikit demi sedikit, seiring perjalanan hidupnya yang dilalui selangkah demi selangkah.

Kalau kita duduk tenang, saat kepala dan hati sedang dingin, ketika hidup sedang dalam keadaan nyaman, mudah saja memahami hal semacam itu. Tapi nampaknya memang tidak mudah untuk terus berkepala dingin dan berpikiran panjang. Dalam kondisi normal sehari-harinya, kita malah lebih mudah menghakimi orang tanpa mau memahami masalahnya. Kalau berempati, itu sudah lebih bagus, namun sayang tak membantu sama sekali.

Kita tahu bahwa umat ini rusak bukan karena kesalahan individual, melainkan kekeliruan berjamaah. Pengetahuan ini harusnya menggiring kita untuk melakukan perbaikan di mana pun kita berada. Umat salah jalur, barangkali (atau bahkan kemungkinan besar) karena salah kita juga. Setiap Muslim sudah diperingatkan berkali-kali bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah, namun yang kita lihat hanyalah orang yang terlihat ketika kita bercermin. Kalau bisa mendoakan orang tua, istri, suami, dan anak, itu sudah dianggap bagus.

Asahlah ketajaman perasaan dengan berhenti mengabaikannya. Jika merasa iba melihat seorang pengemis yang renta, maka ketahuilah bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendoakannya tidak sampai sepuluh detik. Mendoakan anak yang menangis di pinggir jalan tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik juga. Demikian pula mendoakan pedagang kaki lima yang nampak lesu karena dagangannya tak laku, juga tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik. Doakanlah dengan yang sederhana-sederhana saja. Umat ini telah salah jalur, dan tak ada yang tak butuh doa dari saudaranya. Maka berikanlah! Pasti Allah mengabulkan!

* “Ya Allah, ringankanlah beban mereka.” (3 detik)
* “Ya Allah, cukupkanlah kebutuhan mereka.” (4 detik)
* “Ya Allah, bahagiakanlah hati mereka.” (3 detik)


Begitu banyak orang yang menunggu-nunggu agar seseorang menyentuh hatinya. Akan tetapi, berapa banyakkah orang yang cukup lembut, sehingga bisa merasakan kebutuhan-kebutuhan mereka?

Maukah Anda menyelamatkan hati Anda?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

sumber: edumuslim.com

Punya Mata Tapi Tak Melihat, Punya Hati Tapi Tak Merasa Rating: 4.5 Diposkan Oleh: gusti

0 comments:

Post a Comment