Kisah Tokoh Indonesia ~ Abdul Malik
Ia merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan media massa. Jangan kaget kalau pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS) ini pernah menjadi ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York dan merupakan salah satu pendiri LKBN. Kemahirannya memadukan diplomasi dan media massa mengantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri, ketua DPR hingga wakil presiden.
Sang wartawan, politisi, dan diplomat kawakan, putra bangsa berdarah Batak bermarga Batubara ini juga dikenal sebagai salah satu pelaku dan pengubah sejarah yang berperan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia hingga proses pengisian kemerdekaan dalam dua rezim pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Pria cerdik berpostur kecil yang dijuluki “si kancil” ini dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917, dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Semenjak kecil, ia gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin toko “Murah” di sebelah Deli. Di sela-sela kesibukan barunya itu, ia banyak membaca berbagai buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasannya.
Ketika usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan Polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan dihukum dua bulan karena melanggar larangan berkumpul. Pada usia 17 tahun, Adam Malik telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934–1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta.
Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Amir Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna memelopori berdirinya kantor berita Antara tahun 1937, berkantor di Jl. Pinangsia 38 Jakarta kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebetulnya, ia sudah sering menulis, antara lain di Koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Di zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukemi, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai Komite Van Aksi terpilih sebagai ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen.
Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda untuk menyerahkan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya Partai Komunis Indonesia, Adam Malik bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontrarevolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam Malik disebut-sebut dalam trio Soekarno-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian partai Murba yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II/Menlu AD dan Menlu RI.
Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia adalah orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi ketua DPR/MPR. Tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR, Maret 1978, ia terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.
Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar. Kemudian, dalam beberapa kesempatan, ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut pemimpin nasional. Ia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebun.
Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, ia sering mengatakan “semuanya bisa diatur”. Sebagai diplomat, ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi, perkataan “semua bisa diatur” itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini “semua bisa diatur” dengan uang.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H. Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Istri dan anak-anak mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah memberikan berbagai tanda kehormatan.[bb]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment