Kisah Tokoh Indonesia ~ KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy) adalah pelopor dan bapak pembaruan Islam. Kiai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta 1923.
KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.
Pada saat melontarkan gagasan pendidikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mendapat tantangan, fitnah, tuduhan, bahkan hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, dan macam-macam tuduhan lainnya. Ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun, rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan kesadaran bangsa ini melalui pembaruan Islam dan pendidikan, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting. Pertama, KH. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, ia telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat dengan dasar iman dan Islam. Ketiga, organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan telah memelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, organisasi Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah memelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya KH. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid kesultanan Yogyakarta, dan ibunya Nyai Abu Bakar adalah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu kesultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki, yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang terkemuka di antara Wali Sanga, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Silsilah lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai IIyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlulllah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Sejak kecil, Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaru itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa, dan pemikiran Darwisy.
Semangat, jiwa, dan pemikiran itulah yang kemudian diwujudkan dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Tujuan didirikannya organisasi Muhammadiyah adalah untuk memperbarui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam serta stagnasi dan dekadensi umat Islam. Karena itu, ia memandang pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbarui dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan hadits.
Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kiai penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kemudian dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zahrah.
Semangat dan jiwa pemikiran pembaruan dalam dunia Islam yang diperolehnya dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, dan ulama-ulama lainnya selama belajar di Makkah (1883–1888 dan 1902-1904) kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah.
Dahlan sendiri sadar bahwa semangat pembaruannya tidak akan serta merta dapat dipahami dan diterima masyarakat sekitarnya. Tidak mudah melakukan pembaruan pada suatu sifat ortodoks yang sudah membeku. Maka, entah terkait atau tidak, ada sebuah nasihat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yang berbunyi: “Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkanmu, yang pasti harus kamu lewati. Mungkin, engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dari sekian peristiwa yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu dan tinggalkanlah lainnya.”
Dalam sebuah artikel dijelaskan, Dahlan sangat merasakan kemunduran umat Islam di tanah air. Hal inilah yang merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan, dan memajukan mereka. Dahlan sadar kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara saksama. Kerja sama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi perkumpulan, perserikatan, dan gerakan dakwah: Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, sekaligus meneruskan cita-citanya memajukan bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan mengakselerasikan dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool, Jetis, Yogyakarta. Karena itu, ia diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Tentu saja, para calon praja tersebut dapat mengharapkan akselerasi dan memperluas gagasannya tersebut. Karena, mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para calon guru akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah kepada muridnya. Guna mengintensifkannya, Dahlan pun mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’alimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool istri Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita pembaruannya.
Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dengan gagasan-gagasan cemerlang dan kegiatan kemasyarakatannya. Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, termasuk dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jami’atul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Committee Pembelaan Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1921, tepatnya tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-citanya, pembaruan Islam. Ia mempunyai visi untuk melakukan suatu pembaruan dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Bahkan, pada tanggal 20 Desember 1912, Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Tampaknya, Pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan perkembangan organisasi ini, sehingga izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain, seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan tempat lainnya telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabliq Fathanah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan, dalam Kota Yogyakarta sendiri menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi Suci, Khayatul Qulub, Priya utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal Birri.
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Makin lama, Muhammadiyah makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Serikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan umat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syekh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam Ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun madzhab baru di luar empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan-serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama daripada Qur’an dan hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan hadits, harus mempelajari langsung dari sumbernya dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir.”
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan gerakan dakwah Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya, dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun) yang saat ini dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasan tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta, ia mempunyai penghasilan cukup tinggi. Ia juga berkecimpung sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Good job my Ahmad Dhalan. ALLAH will bless him. May ALLAH shower blessings on all.
ReplyDelete